Lingkungan

Jakarta Terendam, 54 Lingkungan dan 23 Jalan Banjir

Gempa banjir melanda Jakarta, merendam 54 lingkungan dan 23 jalan; pelajaran apa yang bisa kita ambil dari bencana ini?

Jakarta baru-baru ini menghadapi salah satu peristiwa banjir terburuk pada tanggal 29 Januari 2025, yang mempengaruhi 54 lingkungan dan 23 jalan. Tingkat banjir mencapai 30 hingga 100 sentimeter yang mengkhawatirkan, dengan Jakarta Barat dan Jakarta Timur paling parah terkena dampaknya. Bencana ini mengungkapkan masalah sistemik seperti manajemen banjir yang tidak memadai dan kegagalan perencanaan perkotaan. Saat kita menghadapi tantangan ini, kita harus mempertimbangkan tindakan proaktif untuk mencegah kejadian di masa depan. Penasaran dengan langkah-langkah yang diambil dan pelajaran yang didapat?

Pada 29 Januari 2025, Jakarta menghadapi salah satu peristiwa banjir terparah dalam ingatan terbaru, mempengaruhi 54 unit lingkungan dan merendam 23 segmen jalan di bawah hujan lebat. Kami menyaksikan dengan tak percaya saat air banjir naik, dengan tingkat yang bervariasi dari 30 sampai 100 sentimeter, membanjiri jalan-jalan kami dan mengganggu kehidupan kami.

Di lingkungan seperti Cengkareng Barat dan Kedaung Kali Angke, menjadi jelas bahwa Jakarta Barat menerima dampak terbesar dari bencana tersebut, dengan 29 RT terkena dampak. Sementara itu, Jakarta Timur juga mengalami banjir yang signifikan, terutama di Cawang, di mana 14 RT terendam.

Saat kami menavigasi kekacauan tersebut, menjadi jelas bahwa banjir ini bukan hanya kejadian acak; ini menyoroti kekurangan sistemik dalam pengelolaan banjir dan perencanaan kota. Kami telah hidup di kota yang berkembang pesat, namun infrastrukturnya sering kali tampak tidak memadai untuk menghadapi realitas perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Hujan lebat hari itu bukanlah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi respons dan kesiapan kami diuji.

Badan Pengelolaan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta dengan cepat memobilisasi personel untuk pemantauan dan memulai koordinasi dengan departemen lain untuk upaya pengeluaran air di wilayah yang terkena. Responsivitas mereka patut dipuji, namun kita harus bertanya pada diri kita sendiri: mengapa kita masih berada di posisi ini? Mengapa kita masih sering kali harus menavigasi air banjir daripada menikmati kebebasan di ruang kota yang direncanakan dengan baik?

Perencanaan kota sangat penting bagi kota seperti Jakarta, yang menghadapi tantangan berkelanjutan dari pertumbuhan populasi dan faktor lingkungan. Kita telah melihat berkali-kali bahwa tindakan reaktif saja tidak cukup; kita memerlukan strategi pengelolaan banjir yang proaktif yang mencakup sistem drainase yang lebih baik, ruang hijau, dan keterlibatan komunitas dalam proses perencanaan.

Saat air surut, kita ditinggalkan dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Bagaimana kita memastikan bahwa lingkungan kita terlindungi di masa depan? Apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung perencanaan kota yang lebih cerdas yang memperhatikan tidak hanya kebutuhan kita saat ini, tetapi juga keberlanjutan jangka panjang kota tercinta kita?

Banjir pada 29 Januari merupakan panggilan bangun, mengingatkan kita bahwa kita harus bertindak. Dengan terlibat dalam percakapan tentang pengelolaan banjir dan perencanaan kota, kita dapat bekerja bersama untuk menciptakan Jakarta yang tangguh, adaptif, dan siap menghadapi apapun yang dilemparkan alam kepada kita.

Mari kita tidak menunggu banjir berikutnya untuk bertindak; kebebasan kita untuk hidup dengan aman di lingkungan kita tergantung pada itu.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Trending

Exit mobile version